Gusti Ayu Arianti (23) tak pernah menyangka akan kehilangan bayi yang dikandungnya karena telat mendapatkan pertolongan. Warga Pejanggik, Kota Mataram, itu berencana melakukan persalinan di Rumah Sakit Angkatan Darat (RSAD) Wira Bhakti Mataram. Tiba di rumah sakit, petugas memintanya melakukan rapid test Covid-19 lebih dulu. Petugas tak memeriksanya, padahal air ketubannya telah pecah dan mengeluarkan darah.
"Ketuban saya sudah pecah, darah saya sudah banyak yang keluar dari rumah, tapi saya tidak ditangani, kata petugas saya harus rapid test dulu," kata Arianti kepada Kompas.com di rumahnya, Rabu (19/8/2020) malam. Arianti dan suaminya, Yudi Prasetya Jaya (24) kecewa. Sebab, aturan terkait rapid test Covid-19 sebelum melahirkan tak diberi tahu sejak pemeriksaan kandungan. "Saya itu kecewa, kenapa prosedur atau aturan ketika kami akan melahirkan tidak diberitahu bahwa wajib membawa hasil rapid test," kata Arianti.
Menurutnya, tak semua ibu hamil yang hendak melahirkan mengetahui aturan tersebut. "Ibu-ibu yang akan melahirkan kan tidak akan tahu ini, karena tidak pernah ada pemberitahuan ketika kami memeriksakan kandungan menjelang melahirkan, " kata Arianti. Menurut Arianti, aturan itu tak akan memberatkan jika diberitahu sejak awal. Dirinya pun akan menyiapkan dokumen hasil rapid test beberapa hari sebelum melahirkan. Diminta rapid test Arianti menceritakan kejadian malang yang menimpanya itu. Awalnya, Arianti merasa sakit perut pada Selasa (18/8/2020) pagi. Ia menduga ketubannya pecah karena cairan yang keluar disertai darah.
Arianti bersama suami dan ibunya, Jero Fatmawati, berangkat menuju RSAD Wira Bhakti Mataram. Mereka memilih rumah sakit itu karena putri pertamanya juga lahir di sana. Tiba di rumah sakit, perut Arianti semakin sakit. Ia meminta petugas jaga di RSAD segera menanganinya. "Saya juga lapor kalau ketuban saya pecah dan ada banyak darah, " katanya. Namun, karena tak ada fasilitas tes cepat, petugas memintanya melakukan rapid test di luar rumah sakit. "Mereka bilang tidak ada fasilitas rapid test, tapi tidak menyarankan saya rapid test di laboraturium karena akan lama keluar hasilnya," kata Arianti. Petugas jaga itu, kata Arianti, menyarankan dirinya melakukan rapid test Covid-19 di puskesmas terdekat.
"Mereka minta saya ke puskesmas terdekat dengan tempat tinggal saya, padahal saya sudah memohon agar dilihat kondisi kandungan saya, bukaan berapa menuju proses kelahiran, mereka tidak mau, katanya harus ada hasil rapid test dulu, " kata Arianti sedih. Arianti menyayangkan sikap petugas yang sama sekali tak bersedia memeriksanya. Petugas, kata dia, bisa mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap jika khawatir dengan Covid-19.
Apalagi, dirinya tak memiliki gejala sakit seperti pasien Covid-19. Rapid test di puskesmas Setelah itu, Arianti menuju Puskesmas Pagesangan untuk melakukan rapid test Covid-19. Di puskesmas, Arianti sempat masuk ke ruang bersalin puskesmas dan memohon agar kandungannya diperiksa. Ia juga menjelaskan ada cairan dan darah yang telah keluar. Namun, petugas puskesmas memintanya sabar dan harus melakukan rapid test dulu. Arianti diminta mengikuti antrean untuk tes. Melihat kondisi istrinya yang semakin lemah, suaminya protes kepada petugas puskesmas. Akhirnya, petugas mengizinkan Arianti mendaftar tanpa mengantre.
Setelah menjalani rapid test, hasil diperkirakan keluar dalam 30 menit. Karena kesakitan, Arianti kembali berusaha meminta dokter di ruang bersalin puskesmas untuk mengecek kandungannya. "Saya bilang waktu itu, dokter bisa tidak minta tolong, bisa tidak saya diperiksa, kira-kira sudah bukaan berapa, apakah saya akan segera melahirkan soalnya sakit, saya bilang begitu. Dokternya tanya, tadi sudah keluar air dan darah, dia bilang belum waktunya tanpa memeriksa saya, saya diminta tunggu hasil rapid test dulu," kata Arianti. Meski sudah memohon, tim medis di puskesmas tak bersedia menangananinya karena hasil rapid test Covid-19 belum keluar.
Belum ada Komentar untuk " "
Posting Komentar